Friday, July 31, 2015

Peristiwa sejarah G30SPKI

Sejarah Indonesia. Peristiwa sejarah G30SPKI. PKI menjelang akhir masa Demokrasi Terpimpin telah memperoleh kedudukan yang kuat dan menjadi salah satu partai terbesar dalam Pemilu I 1955 setelah PNI, Masyumi, dan NU. Selengkapnya tentang Demokrasi Terpimpin bisa dibaca pada artikel sejarah : Percobaan sistem demokrasi terpimpin tahun 1958. Beberapa tindakan PKI sebelum peristiwa G-30-S/PKI adalah sebagai berikut :
  1. Melakukan aksi-aksi pemogokan yang mengakibatkan terjadinya kecelakaan kereta api, seperti di Purwokerto (Januari 1964), Cirebon (14 Mei 1964), Semarang (6 Juli 1964), Bandung (31 Agustus 1964), dan di Tasikmalaya (11 Oktober 1964).
  2. Melakukan aksi-aksi kekerasan yang dilakukan oleh ormas-ormas PKI di beberapa daerah seperti di Indramayau (16 Oktober 1964), Bandar Betsy (14 Mei 1965), Kanigoro ( 13 Januari 1965), dan pengrusakan kantor gubernur Jawa Timur (27 September 19 65).
  3. Melakukan infiltrasi (penyusupan) dalam organisasi masyarakat dan sosial politik serta TNI.
  4. Mengusulkan pembentukan angkatan kelima.
  5. Mengadakan latihan kemiliteran bagi ormasnya, seperti Pemuda Rakyat dan Gerwani.
  6. Menciptakan isu Dewan Jenderal yang akan melakukan kudeta kepada pemerintah.
  7. Menyingkirkan lawan-lawan politik PKI, seperti pembubaran Partai Murba oleh pemerintah atas desakan PKI.

Pertentangan antara PKI dan Angkatan Darat

Adanya perbedaan ideologi dan kepentingan antara PKI dan Angkatan Darat menyebabkan keduanya bersaing satu sama lain. Sesuai dengan ideologi yang dianutnya, PKI berkepentingan merintis berdirinya negara komunis. Adapun Angkatan Darat sebagai kekuatan pertahanan negara berkepentingan mengamankan Pancasila sebagai dasar negara.

Pada bulan Januari 1966 PKI mengajukan gagasan pembentukan angkatan kelima. Gagasan tersebut berisi tuntutan agar kaum buruh dan tani dipersenjatai. Hal tersebut dilakukan untuk menggalang kekuatan menghadapi neokolonial imperialisme (neokolim) Inggris dalam rangka Dwikora.

Pada bulan Mei 1965, PKI melempar isu adanya Dewan Jenderal dalam tubuh Angkatan Darat. Menurut PKI, Dewan Jenderal ditafsirkan sebagai badan yang mempersiapkan perebutan kekuasaan dari Presiden Soekarno.

Angkatan Darat secara tegas menolak gagasan pembentukan angkatan kelima. Menurut Men/Pangad Letnan Jenderal Ahmad Yani, pembentukan angkatan kelima tidak efisien dan merugikan revolusi Indonesia.

Penolakan pembentukan angkatan kelima dinyatakan pula oleh Laksamana Muda Martadinata atas nama Angkatan laut. Mereka hanya dapat menerima jika angkatan kelima berada dalam lingkungan ABRI dan ditangan komando perwira yang profesional.

Adapun dalam menanggapi adanya isu Dewan Jenderal, Pimpinan Angkatan Darat menyatakan bahwa Dewan yang ada dalam Angkatan Darat bukan Dewan Jenderal, melainkan Dewan Jabatan dan Kepangkatan Tinggi (Wanjakti) yang bertugas memberikan usul kepada men/pangad tentang promosi jabatan dan pangkat para perwira tinggi.

Di tengah persaingan antara PKI dan Angkatan Darat, pada bulan Juli 19654 muncul berita tentang memburuknya kesehatan Presiden Soekarno. Menurut tim dokter yang khusus di datangkan dari RRC, ada kemungkinan presiden akan lumpuh jika tidak meninggal. Pimpinan PKI yang mengetahui berita tersebut langsung dari dokter-dokter RRC merasa perlu segera mengambil tindakan.

Pemberontakan G-30-S/PKI

Letnan Kolonel Untung sebagai pimpinan gerakan memerintahkan kepada seluruh anggota gerakan untuk mulai bergerak pada dini hari 1 Oktober 1965. Pada dini hari itu, mereka melakukan serangkaian penculikan dan pembunuhan terhadap enam perwira tinggi dan seorang perwira pertama dari angkatan darat.

Para perwira Angkatan Darat tersebut disiksa dan dibunuh yang kemudian dimasukkan ke dalam satu sumur tua di Lubang Buaya yang terletak di sebelah selatan Pangkalan Udara Utama Halim Perdanakusuma. Enam Jenderal korban PKI dari TNI Angkatan Darat tersebut adalah sebagai berikut:
  1. Letnan Jenderal Ahmad Yani (Menteri/Panglima Angkatan Darat atau Men/Pangad).
  2. Mayor Jenderal R. Suprapto (Deputy II Pangad).
  3. Mayor Jenderal Haryono Mas Tirtodarmo (Deputy III Pangad).
  4. Mayor Jenderal Suwondo Parman (Asisten I Pangad).
  5. Brigadir Jenderal Donald Izacus Panjaitan (Asisten IV Pangad).
  6. Brigadir Jenderal Sutoyo Siswomiharjo (Inspektur Kehakiman/Oditur).
Ketika terjadinya penculikan para perwira Angkatan Darat, Jenderal A.H. Nasution yang juga menjadi target penculikan berhasil menyelamatkan diri setelah kakinya tertembak. Namun putrinya yang bernama Ade Ima Suryani menjadi korban sasaran tembak dan kemudian gugur.

Ajudan Jenderal A.H. Nasution yang bernama Letnan Satu Pierre Andreas Tendean juga menjadi korban. Sedangkan Pembantu Letnan Polisi Karel Satsuit Tubun gugur pada saat melakukan perlawanan terhadap gerombolan yang berusaha menculik Jenderal A.H. Nasution.

Penculikan dan pembunuhan serupa juga terjadi di Jogjakarta dan menimbulkan korban Komando Resimen 072 Pamungkas Kolonel Katamso serta kepala Staf Korem 072 Pamungkas Letkol Sugiyono. Keduanya dibunuh dengan kejam di Kentungan, daerah markas suatu batalion yang dikuasai oleh perwira komunis.

Silahkan baca referensi lain artikel PKI : Proses terjadinya peristiwa G.30.S/PKI

Penumpasan G-30-S/PKI

Setelah menerima laporan terjadinya penculikan para pemimpin TNI Angkatan Darat, Mayor Jenderal Soeharto sebagai penglima Kostrad (Komando Strategi Angkatan Darat), segera mengambil langkah-langkah untuk memulihkan keamanan di ibu kota. Langkah-langkah tersebut yaitu dengan menyelamatkan dua objek vital, yaitu gedung RRI dan pusat telekomunikasi.

Dalam waktu dua puluh lima menit resimen RPKAD di bawah pimpinan Sarwo Edi berhasil merebut kedua objek tersebut.

Pada pukul 20.10 WIB, Mayor Jenderal Soeharto selaku pimpinan sementara Angkatan Darat mengeluarkan pernyataan resmi yang isisnya memberitahukan kepada seluruh rakyat Indonesia bahwa pada tanggal 1 Oktober 1965 telah terjadi peristiwa penculikan beberapa Perwira Tinggi Angkatan Darat yang dilakukan oleh golongan kontrarevolusioner yang menamakan dirinya Gestapu (Gerakan 30 September). Selanjutnya, mereka telah mengambil alih kekuasaan negara.

Mayor Jenderal Soeharto menegaskan bahwa kekuatan Gestapu dapat dihandurkan dan NKRI yang berdasarkan Pancasila pasti tetap jaya. Pidato Mayjen Soeharto tersebut dapat meredakan kegelisahan rakyat dan mereka dapat mengetahui gambaran yang jelas tentang situasi negara.

Operasi penumpasan dilanjutkan dengan sasaran PAngkalan Udara Utama/Lanuma Halim Perdanakusuma, yang menjadi basis kekuatan G-30-S/PKI. Opersai ini bertujuan mencari tempat dan mengusut nasib para jenderal yang diculik.

Kemudian operasi dilanjutkan ke Lubang Buaya. Atas petunjuk dari Ajudan Brigadir Polisi Sukitman, pada tanggal 3 Oktober ditemukan sumur tua tempat penguburan jenazah para perwira Angkatan Darat.

Pada tanggal 4 Oktober dilakukan pengangkatan seluruh jenazah para perwira dan tanggal 5 Oktober para perwira dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata. Para perwira tersebut dianugerahi gelar Pahlawan Revolusi serta diberikan kenaikan pangkat setingkat lebih tinggi secara anumerta.


Baca juga sejarah penumpasan PKI di artikel : Cerita sejarah lahirnya Supersemar 1966

Dampak sosial politik Pemberontakan G-30-S/PKI

Dalam waktu singkat gerakan 30 September PKI berhasil digagalkan. Pada tanggal 25 Oktober para mahasiswa membentuk Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI), yang kemudian diikuti dengan terbentuknya kesatuan aksi yang lain, seperti :
1. Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia (KAPPI)
2. Kesatuan Aksi Buruh Indonesia (KABI)
3. Kesatuan Aksi Wanita Indonesia (KAWI)
4. Kesatuan Aksi Guru Indonesia (KAGI)

Dengan dipelopori oleh KAMI dan KAPPI yang tergabung dalam Front Pancasila, pada tanggal 12 Januari 1966 melancarkan aksi di halaman Gedung DPR GR dan mengajukan tiga buah tuntutan yang dikenal dengan nama tri tuntutan rakyat atau dikela Tritura.

Adapun isi Tritura adalah sebagai berikut :
1. Pembubaran PKI.
2. Pembersihan kabinet dari unsur-unsur G-30-S/PKI.
3. Penurunan harga/perbaikan ekonomi.

Baca juga referensi lain mengenai Tritura di artikel :
- Simposium Indonesia Negara Hukum 1966
Penyebab tercetusnya Tritura

Dalam pelaksanaan tuntutan tersebut, pada tanggal 24 Pebruari 1966 gugur seorang mahasiswa bernama Arief Rahman Hakim. Kemudian Arief Rahman Hakim diangkat menjadi Pahlawan Ampera yang dikukuhkan dalam Tap. MPRS No. XXIX/MPRS/1966.

Sehari setelah insiden tersebut pemerintah membubarkan KAMI. Ternyata pembubaran KAMI ini tidak memulihkan kewibawaan pemerintah dan tidak juga menghentikan aksi-aksi tritura. Para mahasiswa kemudian membentuk laskar Arief Rahman Hakim. Mereka mengadakan aksi bersama dengan kesatuan-kesatuan lainnya.

Pada tanggal 8 Maret 1966, mereka menggelas demonstrasi besar-besaran di kantor wakil Perdana Menteri I/Menteri Luar Negeri, Departemen Pendidikan Dasar dan Kebudayaan, dan kedutaan besar Cina. Ketiga tempat tersebut dianggap sebagai tempat pendukung utama PKI.
Read more ...

Friday, July 10, 2015

Cerita sejarah lahirnya Supersemar 1966

Sejarah Indonesia. Cerita sejarah lahirnya Supersemar 1966. Orde Baru adalah suatu tatanan seluruh peri kehidupan rakyat, bangsa dan negara yang diletakkan kembali kepada pelaksanaan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Lahirnya Orde Baru diawali dengan dikeluarkannya Surat Perintah 11 Maret 1966 yang merupakan tonggak Orde baru. (Baca kembali : Surat Perintah 11 Maret (Supersemar) tonggak sejarah lahirnya Orde Baru)

Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar)

Sebelum keluarnya Supersemar, Presiden Soekarno sedang mengadakan pertemuan dengan partai-partai politik pada tanggal 10 Maret 1966. Dalam pertemuan tersebut membahas masalah demonstrasi Tritura. Presiden mendesak agar partai-partai politik mengutuk demonstrasi Tritura, namun partai-partai yang tergabung dalam Front Pancasila tetap menuntut pembubaran PKI.

Mengapa ada Tritura? Silahkan baca secara lengkap di artikel sejarah : Penyebab tercetusnya Tritura

Pada tanggal 11 Maret 1966, berlangsung sidang paripurna Kabinet Dwikora yang disempurnakan. Sidang sempat mengalami kepanikan setelah Komandan Cakrabirawa Brigjen Sabur melaporkan adanya pasukan tanpa tanda kesatuan di sekeliling Istana Merdeka.

Presiden Soekarno yang memimpin sidang kabinet akhirnya meninggalkan sidang menuju Istana Bogor dengan menggunakan helikopter dan menyerahkan pucuk pimpinan sidang kepada Waperdam II, Dr. Leimena.

Bersama Waperdam I, Dr. Subandrio, dan Waperdam III, Chairul Saleh, Presiden Soekarno menuju Istana Bogor. Setelah sidang, Dr. Leimena pun menyusul ke Istana Bogor untuk melaporkan hasil sidang kabinet. Tidak begitu lama presiden yang didampingi tiga waperdam kedatangan tiga perwira tinggi Angkatan Darat.

Perwira tinggi tersebut adalah Mayjen Basuki Rahmat (Menteri Urusan Veteran), Brigjen M. Yusuf (Menteri Perindustrian), dan Brigjen Amir Mahmud (Panglima Kodam Jaya) untuk menyampaikan beberapa hal sebagai berikut :
  1. Meminta kepada presiden agar segera mengambil tindakan untuk memulihkan keadaan yang gawat.
  2. ABRI, terutama Angkatan Darat tetap setia dan tidak meninggalkan presiden.
  3. Pesan Letjen Soeharto yang isinya sanggup mengatasi keadaan apabila presiden memercayakan hal itu kepadanya.
Ketiga perwira Angkatan Darat tersebut sebelum menemui Presiden Soekarno di Istana Bogor terlebih dahulu bertemu dengan Letjen Soeharto. Setelah di Istana Bogor, ketiganya mengadakan pembicaraan dengan presiden.

Sesuai dengan kesimpulan pembicaraan, maka ketiga perwira TNI Angkatan Darat dengan Komandan Cakrabirawa Brigjen Sabur diperintahkan membuat konsep surat perintah kepada Letjen Jenderal Soeharto.

Setelah konsep surat dibahas bersama, kemudian Presiden Soekarno menandatangani surat perintah tersebut. Surat perintah itu lebih dikenal dengan sebutan "Surat Perintah Sebelas Maret" atau disingkat Supersemar.

Referensi lain silahkan baca : Surat Perintah 11 Maret (Supersemar) tonggak sejarah lahirnya Orde Baru

Isi pokok Supersemar

Isi Supersemar tersebut adalah pemberian perintah kepada Letjen Soeharto untuk mengambil tindakan untuk memulihkan keamanan, ketertiban, dan kestabilan pemerintah serta keutuhan bangsa dan negara Republik Indonesia. Penerima mandat juga harus melaporkan segala sesuatunya kepada presiden.

Langkah Letjen Soeharto sebagai pengemban Supersemar

Setelah Letjen Soeharto memperoleh Supersemar, maka beliau segera melakukan beberapa langkah dan tindakan sebagai berikut :
1. Letjen Soeharto sebagai pengemban Supersemar membubarkan PKI beserta ormas-ormasnya dan menyatakan sebagai organisasi terlarang pada tanggal 12 Maret 1966.

2. Letjen Soeharto mengamankan lima belas menteri yang diduga terlibat atau bersimpati terhadap G-30S/PKI pada tanggal 18 Maret 1966. Keputusan ini dituangkan dalam Keputusan Presiden No. 5 tertanggal 18 Maret 1966. Untuk kelancaran tugas-tugas pemerintahan kemudian diangkat lima orang menteri koordinator (menko) ad intern yang bersama-sama menjadi presidium kabinet. Kelima Menko tersebut adalah : Sultan Hamengku Buwono IX, Adam Malik, Dr. Ruslan Abdulgani, Dr. K.H. Idham Cholid dan Dr. J. Leimena. Selain itu, juga diangkat beberapa orang menteri ad intern sebelum terbentuknya kabinet baru.

3. Letjen Soeharto membersihkan MPRS dan lembaga negara lainnya dari unsur-unsur G-30S/PKI dan menetapkan peranan lembaga-lembaga itu sesuai dengan UUD 1945.

Begitulah Cerita sejarah lahirnya Supersemar 1966, semoga menjadi catatan kita bersama sebagai anak bangsa Indonesia yang cinta akan sejarah. Selanjutnya bisa dibaca : Simposium Indonesia Negara Hukum 1966 yang merupakan awal masa transisi pemindahan kekuasaan dari Presiden Soekarno kepada Letjen Soeharto.
Read more ...

Tuesday, July 7, 2015

Simposium Indonesia Negara Hukum 1966

Simposium Indonesia negara Hukum 1966. Untuk melakukan perbaikan politik di dalam negeri Indonesia setelah peristiwa G-30-S/PKI diadakan simposium kebangkitan semangat '66 pada tanggal 6 - 9 Mei 1966 di Universitas Indonesia yang bekerja sama dengan KAMI dan KASI. Simposium tersebut khusus membahas bidang politik dalam negeri dengan mengambil tema Indonesia Negara Hukum.

Dalam pembahasan tersebut diingatkan bahwa telah terjadi banyak penyimpangan dari asas serta norma yang berlaku dalam negara hukum. Juga dinyatakan bahwa dalam pelaksanaan peraturan hukum yang telah ditetapkan tidak mencerminkan jiwa Pancasila. Penyimpangan yang dilakukan diantaranya Penetapan Presiden No. 2 tahun 1959 tentang MPRS.

Dalam simposium tersebut pemerintah disarankan untuk mengembalikan kewibawaan negara Republik Indonesia sebagai negara hukum melalui usulan tentang pemurnian pelaksanaan UUD 1945, penghentian pengeluaran penpres baru, dan peninjauan kembali semua penpres yang telah dikeluarkan. Diusulkan pula tentang adanya jaminan yang cukup terhadap pengakuan hak asasi manusia dalam menciptakan dan menegakkan hukum.

Simposium Indonesia Negara Hukum 1966

Upaya-upaya MPRS melaksanakan pemurnian UUD 19645

Dalam rangka menjaga kemurnian pelaksanaan UUD 19645, MPRS melakukan upaya-upaya sebagai berikut :
a. Jabatan pimpinan DPRGR dipisahkan dari jabatan eksekutif, sehingga pimpinan DPRGR tidak menduduki jabatan menteri.

b. Pada tanggal 20 Juni sampai dengan 5 Juli 1966 mengadakan Sidang Umum IV MPRS yang mengeluarkan beberapa ketetapan, antara lain sebagai berikut :
  1. Ketetapan MPRS No. IX/MPRS/1966 tentang Pengesahan dan Pengukuhan Supersemar.
  2. Ketetapan MPRS No. X/MPRS/1966 yang mengatur Kedudukan Lembaga-Lembaga Negara, baik di Tingkat Pusat maupun pada Tingkat Daerah.
  3. Ketetapan MPRS No. XII/MPRS/1966 tentang Politik Luar Negeri Bebas Aktif.
  4. Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966 tentang Tata Urutan Perundang-Undangan di Indonesia.
  5. Ketetapan MPRS No. XXV/MPRS/1966 tentang Pembubaran PKI dan Pernyataan PKI serta Ormas-Ormasnya sebagai Organisasi Terlarang di Indonesia.

Kabinet Ampera

Selain ketetapan tersebut, dikeluarkan juga Ketetapan MPRS No. XIII Tahun 1966 tentang Pembentukan Kabinet Amanat Penderitaan Rakyat (Ampera). Kabinet Ampera diresmikan pada tanggal 28 Juli 1966 untuk melaksanakan Tritura di bidang politik, ekonomi, dan sosial. Dengan masa kerja dua tahun Kabinet Ampera memiliki program kerja yang disebut dengan Caturkarya yang meliputi hal-hal sebagai berikut :
  1. Memperbaiki kehidupan rakyat terutama di bidang sandang dan pangan.
  2. Melaksanakan pemilihan umum selambat-lambatnya tanggal 5 Juli 1968.
  3. Melaksanakan politik luar negeri yang bebas dan aktif untuk kepentingan nasional.
  4. Melanjutkan perjuangan antiimperialisme dan kolonialisme dalam segala bentuk dan manifestasinya.
Adapun tugas Kabinet Ampera disebut Dwidarma Kabinet Ampera yang meliputi menciptakan stabilitas ekonomi dan menciptakan stabilitas politik. Berikut adalah susunan Kabinet Ampera :
Pimpinan : Presiden Soekarno
Pembantu pimpinan :
  1. Letnan Jenderal Soeharto (Menteri Utama Bidang Pertahanan dan Keamanan).
  2. Adam Malik (Menteri Utama Bidang Politik).
  3. K.H. Idham Khalid (Menteri Utama Kesejahteraan Rakyat).
  4. Sri Sultan Hamengku Buwono IX (Menteri Ekonomi dan Keuangan).
  5. Sanusi Haryadinata (Menteri Utama Perindustrian dan Pembangunan.
Anggota Kabinet : 24 Menteri

Dalam pembentukan Kabinet Ampera yang disempurnakan tanggal 11 Oktober 1966, Presiden Soekarno tetap sebagai kepala negara, sedangkan Letnan Jenderal Soeharto diangkat sebagai kepala pemerintahan. Dengan begitu telah terjadi dualisme kepemimpinan. Hal tersebut mengakibatkan perjalanan kabinet tidak lancar dan tidak menguntungkan stabilitas nasional.

Selanjutnya baca : Nawaksara pidato pertanggungjawaban presiden Soekarno

Demikian pembahasan mengenai Simposium Indonesia Negara Hukum 1966 yang membahas pilitik dalam negeri Republik Indonesia.
Read more ...

Nawaksara pidato pertanggungjawaban presiden Soekarno

Pada Sidang Umum MPRS Tahun 1966, Presiden Soekarno selaku mandataris MPRS, diminta oleh MPRS untuk memberikan pertanggungjawaban mengenai kebijakan yang telah dilakukan, khususnya mengenai Pemberontakan G-30S/PKI.

Dalam pidato pertanggungjawabannya itu presiden tidak menyinggung sama sekali masalah G-30-SPKI, tetapi hanya memberikan amanat seperti apa yang dilakukan di hadapan sidang-sidang lembaga yang berada di lingkungan tanggung jawabnya. Pidato pertanggungjawaban presiden tersebut berjudul Nawaksara. Nawa artinya sembilan dan sara artinya pasal. Jadai Nawaksara artinya sembilan pasal. Mengapa bukan Nawasara? Penulis sendiri tidak mendapatkan sumber yang jelas.

Karena presiden tidak menyinggung masalah G-30-SPKI dalam pidatonya, maka kemudian pimpinan MPRS mengirimkan nota kepada presiden untuk memperbaiki pertanggungjawabannya. Pada tanggal 10 Jnuari 1967, presiden menyampaikan pertanggungjawabannya melalui naskah yang diberi nama Pelengkap Nawaksara yang disingkat Pel Nawaksara.

Namun, isi pokok Pel Nawaksara tidak meredakan keadaan dalam masyarakat dan justru menimbulkan konflik yang semakin dalam. Oleh karena itu, muncullah reaksi penolakan dari berbagai elemen masyarakat, seperti PNI Sulawesi Selatan, GMNL Bandung, dan alim ulama Jawa Barat. Bahkan, koordinator Pemuda Sekber Golkar mengusulkan kepada MPRS agar diadakan sidang istimewa.

Nawaksara pidato pertanggungjawaban presiden Soekarno

Surat Rahasia Presiden Soekarno

Pada tanggal 7 Pebruari 1967, Jenderal Soeharto dnegan perantara Hardi, S.H. menerima surat rahasia dari Presiden Soekarno. Surat tersebut dilampiri sebuah konsep surat penugasan mengenai pimpinan pemerintahan sehari-hari kepada pemegang Supersemar.

Setelah menerima surat rahasia tersebut, pada tanggal 8 Pebruari 1967 Jenderal Soeharto membicarakan konsep tersebut dengan empat panglima angkatan bersenjata. Hasilnya Jenderal Soeharto dan para panglima berkesimpulan bahwa konsep surat tersebut tidak dapat diterima karena penugasan semacam itu tidak akan membantu menyelesaikan konflik politik yang ada. Pada tanggal 9 Pebruari 1967 DPRGR mengajukan resolusi dan memorandum kepada MPRS agar diadakan sidang istimewa.

Tanggal 10 Pebruari 1967, Jenderal Soeharto menghadap presiden untuk membahas masalah negara, khususnya masalah penyelesaian konflik politik dan melaporkan pendirian para panglima angkatan bersenjata. Dalam pertemuan tersebut Presiden Soekarno menanyakan kemungkinan yang terbaik untuk menyelesaikan masalah penugasan tersebut.

Konsep Jenderal Soeharto

Jenderal Soeharto pada tanggal 11 Pebruari 1967 mengajukan konsep kepada presiden. Konsep tersebut berisi tentang pernyataan presiden berhalangan atau presiden menyerahkan kekuasaan pemerintahan kepada pemegang Supersemar sesuai dengan Ketetapan MPRS No. XV Tahun 1966. Presiden Soekarno meminta waktu untuk mempelajari konsep tersebut.

Akhirnya, pada tanggal 12 Pebruari 1967, Presiden Soekarno, Jenderal Soeharto, dan para panglima angkatan bersenjata mengadakan pertemuan lagi. Dalam pertemuan tersebut presiden menyatakan tidak dapat menerima konsep yang diajukan oleh Jenderal Soeharto. Presiden mengusulkan supaya diadakan perubahan bentuk dan tidak menyetujui pernyataan yang isinya berhalangan, dan diadakan pertemuan lagi pada keesokan harinya.

Pada tanggal 13 Pebruari 1967, para panglima mengadakan pertemuan lagi untuk membicarakan konsep yang telah disusun sebelum diajukan kepada presiden. Pada jam 11.00 WIB para panglima mengutus Jenderal Panggabean dan Jenderal Polisi Soetjipto Judodihardjo untuk menghadap presiden.

Dalam pertemuan tersebut tidak dicapai kesepakatan, karena presiden masih menuntut diadakannya perubahan pada konsep surat itu. Namun beberapa waktu kemudian dengan perantara Mayor Jenderal Suryo Sumpeno (ajudan presiden), presiden menyatakan setuju terhadap konsep yang diajukan oleh Jenderal Soeharto dengan syarat ada jaminan dari Soeharto.

Sekalipun Presiden Soekarno telah menyetujui konsep tersebut tetapi belum menandatanganinya. Baru setelah ada perubahan-perubahan kecil (pada pasal 3 ditambah dengan kata-kata menjaga dan menegakkan revolusi) konsep ditandatangani presiden pada tanggal 20 Pebruari 1967.

Pada hari Kamis tanggal 23 Pebruari 1967, pukul 19.30 WIB di Istana Negara, dengan disaksikan oleh Ketua Presidium Kabinet Ampera dan para menteri, Presiden/Mandataris MPRS/Panglima Tinggi Nagkatan Bersenjata Republik Indonesia dengan resmi telah menyerahkan kekuasaan pemerintah kepada pengemban Supersemar.

Pengunduran diri Presiden Soekarno

MPRS pada bulan Maret 1967 mengadakan sidang istimewa dalam rangka mengukuhkan pengunduran diri presiden Soekarno, sekaligus mengangkat Jenderal Soeharto sebagai Pejabat Presiden Republik Indonesia.

Kemudian, pada sidang umum bulan Maret 1968, MPRS mengangkat Jenderal Soeharto sebagai Presiden Republik Indonesia. Dengan demikian pelantikan Soeharto sebagai presiden tersebut, maka secara resmi pemerintahan demokrasi terpimpin yang kemudian dinamakan Orde Lama (Orla) berakhir. Pemerintahan baru di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto kemudian disebut Orde Baru (Orba). Silahkan baca juga artikel sejarah : Surat Perintah 11 Maret (Supersemar) tonggak sejarah lahirnya Orde Baru

Tugas pokok Kabinet Pembangunan (Pancakrida)
Kemudian Presiden Soeharto mengumumkan pembentukan dan susunan Kabinet Pembangunan. Tugas pokok Kabinet Pembangunan seperti yang ditetapkan dalam Ketetapan MPRS No. XLI/MPRS/1968 adalah melanjutkan tugas-tugas Kabinet Ampera. Berikut ini adalah 5 tugas pokok Kabinet Pembangunan :
  1. Menciptakan stabilitas politik dan ekonomi sebagai syarat mutlak berhasilnya pelaksanaan rencana pembangunan lima tahun dan pemilihan umum.
  2. Menyusun dan melaksanakan rencana pembangunan lima tahun.
  3. Melaksanakan pemilihan umum selambat-lambatnya pada tanggal 5 Juli 1971.
  4. Mengembalikan ketertiban dan keamanan masyarakat dan mengikis habis sisa-sisa G-30-SPKI dari setiap rongrongan, penyelewengan, serta pengkhianatan terhadap Pancasila dan UUD 1945.
  5. Melanjutkan penyempurnaan dan pembersihan secara menyeluruh aparatur negara, baik ditingkat pusat maupun di tingkat daerah.
Tugas pokok Kabinet Pembangunan ini dikenal dengan nama Pancakrida. Dalam kabinet ini duduk lima menteri negara dan 18 menteri/pimpinan departemen. Susunan departemen pada Kabinet Pembangunan berbeda dengan Kabinet Ampera.

3 langkah pelaksanaan politik luar negeri bebas aktif

Sebagai langkah dalam pelaksanaan politik luar negeri yang bebas aktif, pemerintah Orde Baru mengadakan perubahan dalam politik luar negeri. Berikut upaya pembaruan tersebut :

1. Indonesia menyatakan kembali menjadi anggota PBB
Pada tanggal 28 September 1966 Indonesia kembali menjadi anggota PBB setelah sebelumnya pernah keluar sebagai anggota PBB (baca selengkapnya : Politik luar negeri Indonesia dan konfrontasi Malaysia). Keaktifan Indonesia dalam PBB ditunjukkan ketika menteri luar negeri Adam Malik terpilih menjadi Ketua Majelis sidang umum PBB untuk masa sidang tahun 1974.

2. Normalisasi hubungan dengan Malaysia
Pada tanggal 11 Agustus 1966 di Jakarta, Indonesia melaksanakan persetujuan normalisasi hubungan dengan Malaysia. Persetujuan normalisasi ini merupakan hasil Persetujuan Bangkok tanggal 19 Mei - 1 Juni 1966.

Dalam pertemuan tersebut delegasi Indonesia dipimpin oleh Menteri Luar Negeri Adam Malik, sedangkan delegasi Malaysia dipimpin oleh Wakil Perdana Menteri/Menteri Luar Negeri TUn Abdul Razak. Pertemuan di Bangkok ini menghasilkan keputusan yang disebut Persetujuan Bangkok atau Bangkok Agreement.

Berikut isi Persetujuan Bangkok (Bangkok Agreement) :
  1. Rakyat Sabah dan Serawak diberi kesempatan untuk menegaskan kembali keputusan yang telah mereka ambil mengenai kedudukan mereka dalam federasi Malaysia.
  2. Pemerintah kedua belah pihak menyetujui pemulihan hubungan diplomatik.
  3. Permusuhan antara kedua belah pihak akan dihentikan.
3. Berperan dalam pembentukan ASEAN
Indonesia bersama-sama dengan beberapa pemimpin negara di Asia Tenggara memprakarsai berdirinya ASEAN (Association of Southeast Asian Nations) yang dibentuk di Bangkok (Thailand) pada tanggal 9 Agustus 1967.

Tokoh yang menandatangani Deklarasi Bangkok adalah Adam Malik (Indonesia), TUn Abdul Razak (Malaysia), Narcisco Ramos (Filipina) Rajaratnam (Singapura, dan Thanat Koman (Thailand). Peristiwa ini bisa di baca selengkapnya pada artikel : Sejarah berdirinya ASEAN dan tujuannya

Trilogi Pembangunan

Pada masa Orde Baru dilaksanakan pembangunan dalam berbagai aspek kehidupan. Tujuannya adalah untuk terciptanya masyarakat adil dan makmur yang merata materiil dan spirituil berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Pelaksanaan pembangunan ini bertumpu pada trilogi pembangunan. 

Berikut isi Trilogi Pembangunan
1. Pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya menuju terciptanya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
2. Pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi.
3. Stabilitas nasional yang sehat dan dinamis.

Demikian pembahasan panjang mengenai Nawaksara pidato pertanggungjawaban presiden Soekarno hingga peralihan pemerintahan kepada Jenderal Soeharto dan pelaksanaan politik luar negeri bebas aktif. Semoga menambah wawasan sejarah Indonesia.
Read more ...