Pada Sidang Umum MPRS Tahun 1966, Presiden Soekarno selaku mandataris MPRS, diminta oleh MPRS untuk memberikan pertanggungjawaban mengenai kebijakan yang telah dilakukan, khususnya mengenai Pemberontakan G-30S/PKI.
Dalam pidato pertanggungjawabannya itu presiden tidak menyinggung sama sekali masalah G-30-SPKI, tetapi hanya memberikan amanat seperti apa yang dilakukan di hadapan sidang-sidang lembaga yang berada di lingkungan tanggung jawabnya. Pidato pertanggungjawaban presiden tersebut berjudul Nawaksara. Nawa artinya sembilan dan sara artinya pasal. Jadai Nawaksara artinya sembilan pasal. Mengapa bukan Nawasara? Penulis sendiri tidak mendapatkan sumber yang jelas.
Karena presiden tidak menyinggung masalah G-30-SPKI dalam pidatonya, maka kemudian pimpinan MPRS mengirimkan nota kepada presiden untuk memperbaiki pertanggungjawabannya. Pada tanggal 10 Jnuari 1967, presiden menyampaikan pertanggungjawabannya melalui naskah yang diberi nama Pelengkap Nawaksara yang disingkat Pel Nawaksara.
Namun, isi pokok Pel Nawaksara tidak meredakan keadaan dalam masyarakat dan justru menimbulkan konflik yang semakin dalam. Oleh karena itu, muncullah reaksi penolakan dari berbagai elemen masyarakat, seperti PNI Sulawesi Selatan, GMNL Bandung, dan alim ulama Jawa Barat. Bahkan, koordinator Pemuda Sekber Golkar mengusulkan kepada MPRS agar diadakan sidang istimewa.
Surat Rahasia Presiden Soekarno
Pada tanggal 7 Pebruari 1967, Jenderal Soeharto dnegan perantara Hardi, S.H. menerima surat rahasia dari Presiden Soekarno. Surat tersebut dilampiri sebuah konsep surat penugasan mengenai pimpinan pemerintahan sehari-hari kepada pemegang Supersemar.
Setelah menerima surat rahasia tersebut, pada tanggal 8 Pebruari 1967 Jenderal Soeharto membicarakan konsep tersebut dengan empat panglima angkatan bersenjata. Hasilnya Jenderal Soeharto dan para panglima berkesimpulan bahwa konsep surat tersebut tidak dapat diterima karena penugasan semacam itu tidak akan membantu menyelesaikan konflik politik yang ada. Pada tanggal 9 Pebruari 1967 DPRGR mengajukan resolusi dan memorandum kepada MPRS agar diadakan sidang istimewa.
Tanggal 10 Pebruari 1967, Jenderal Soeharto menghadap presiden untuk membahas masalah negara, khususnya masalah penyelesaian konflik politik dan melaporkan pendirian para panglima angkatan bersenjata. Dalam pertemuan tersebut Presiden Soekarno menanyakan kemungkinan yang terbaik untuk menyelesaikan masalah penugasan tersebut.
Konsep Jenderal Soeharto
Jenderal Soeharto pada tanggal 11 Pebruari 1967 mengajukan konsep kepada presiden. Konsep tersebut berisi tentang pernyataan presiden berhalangan atau presiden menyerahkan kekuasaan pemerintahan kepada pemegang Supersemar sesuai dengan Ketetapan MPRS No. XV Tahun 1966. Presiden Soekarno meminta waktu untuk mempelajari konsep tersebut.
Akhirnya, pada tanggal 12 Pebruari 1967, Presiden Soekarno, Jenderal Soeharto, dan para panglima angkatan bersenjata mengadakan pertemuan lagi. Dalam pertemuan tersebut presiden menyatakan tidak dapat menerima konsep yang diajukan oleh Jenderal Soeharto. Presiden mengusulkan supaya diadakan perubahan bentuk dan tidak menyetujui pernyataan yang isinya berhalangan, dan diadakan pertemuan lagi pada keesokan harinya.
Pada tanggal 13 Pebruari 1967, para panglima mengadakan pertemuan lagi untuk membicarakan konsep yang telah disusun sebelum diajukan kepada presiden. Pada jam 11.00 WIB para panglima mengutus Jenderal Panggabean dan Jenderal Polisi Soetjipto Judodihardjo untuk menghadap presiden.
Dalam pertemuan tersebut tidak dicapai kesepakatan, karena presiden masih menuntut diadakannya perubahan pada konsep surat itu. Namun beberapa waktu kemudian dengan perantara Mayor Jenderal Suryo Sumpeno (ajudan presiden), presiden menyatakan setuju terhadap konsep yang diajukan oleh Jenderal Soeharto dengan syarat ada jaminan dari Soeharto.
Sekalipun Presiden Soekarno telah menyetujui konsep tersebut tetapi belum menandatanganinya. Baru setelah ada perubahan-perubahan kecil (pada pasal 3 ditambah dengan kata-kata menjaga dan menegakkan revolusi) konsep ditandatangani presiden pada tanggal 20 Pebruari 1967.
Pada hari Kamis tanggal 23 Pebruari 1967, pukul 19.30 WIB di Istana Negara, dengan disaksikan oleh Ketua Presidium Kabinet Ampera dan para menteri, Presiden/Mandataris MPRS/Panglima Tinggi Nagkatan Bersenjata Republik Indonesia dengan resmi telah menyerahkan kekuasaan pemerintah kepada pengemban Supersemar.
Pengunduran diri Presiden Soekarno
MPRS pada bulan Maret 1967 mengadakan sidang istimewa dalam rangka mengukuhkan pengunduran diri presiden Soekarno, sekaligus mengangkat Jenderal Soeharto sebagai Pejabat Presiden Republik Indonesia.
Kemudian, pada sidang umum bulan Maret 1968, MPRS mengangkat Jenderal Soeharto sebagai Presiden Republik Indonesia. Dengan demikian pelantikan Soeharto sebagai presiden tersebut, maka secara resmi pemerintahan demokrasi terpimpin yang kemudian dinamakan Orde Lama (Orla) berakhir. Pemerintahan baru di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto kemudian disebut Orde Baru (Orba). Silahkan baca juga artikel sejarah : Surat Perintah 11 Maret (Supersemar) tonggak sejarah lahirnya Orde Baru
Tugas pokok Kabinet Pembangunan (Pancakrida)
Kemudian Presiden Soeharto mengumumkan pembentukan dan susunan Kabinet Pembangunan. Tugas pokok Kabinet Pembangunan seperti yang ditetapkan dalam Ketetapan MPRS No. XLI/MPRS/1968 adalah melanjutkan tugas-tugas Kabinet Ampera. Berikut ini adalah 5 tugas pokok Kabinet Pembangunan :
- Menciptakan stabilitas politik dan ekonomi sebagai syarat mutlak berhasilnya pelaksanaan rencana pembangunan lima tahun dan pemilihan umum.
- Menyusun dan melaksanakan rencana pembangunan lima tahun.
- Melaksanakan pemilihan umum selambat-lambatnya pada tanggal 5 Juli 1971.
- Mengembalikan ketertiban dan keamanan masyarakat dan mengikis habis sisa-sisa G-30-SPKI dari setiap rongrongan, penyelewengan, serta pengkhianatan terhadap Pancasila dan UUD 1945.
- Melanjutkan penyempurnaan dan pembersihan secara menyeluruh aparatur negara, baik ditingkat pusat maupun di tingkat daerah.
Tugas pokok Kabinet Pembangunan ini dikenal dengan nama Pancakrida. Dalam kabinet ini duduk lima menteri negara dan 18 menteri/pimpinan departemen. Susunan departemen pada Kabinet Pembangunan berbeda dengan Kabinet Ampera.
3 langkah pelaksanaan politik luar negeri bebas aktif
Sebagai langkah dalam pelaksanaan politik luar negeri yang bebas aktif, pemerintah Orde Baru mengadakan perubahan dalam politik luar negeri. Berikut upaya pembaruan tersebut :
1. Indonesia menyatakan kembali menjadi anggota PBB
Pada tanggal 28 September 1966 Indonesia kembali menjadi anggota PBB setelah sebelumnya pernah keluar sebagai anggota PBB (baca selengkapnya : Politik luar negeri Indonesia dan konfrontasi Malaysia). Keaktifan Indonesia dalam PBB ditunjukkan ketika menteri luar negeri Adam Malik terpilih menjadi Ketua Majelis sidang umum PBB untuk masa sidang tahun 1974.
2. Normalisasi hubungan dengan Malaysia
Pada tanggal 11 Agustus 1966 di Jakarta, Indonesia melaksanakan persetujuan normalisasi hubungan dengan Malaysia. Persetujuan normalisasi ini merupakan hasil Persetujuan Bangkok tanggal 19 Mei - 1 Juni 1966.
Dalam pertemuan tersebut delegasi Indonesia dipimpin oleh Menteri Luar Negeri Adam Malik, sedangkan delegasi Malaysia dipimpin oleh Wakil Perdana Menteri/Menteri Luar Negeri TUn Abdul Razak. Pertemuan di Bangkok ini menghasilkan keputusan yang disebut Persetujuan Bangkok atau Bangkok Agreement.
Berikut isi Persetujuan Bangkok (Bangkok Agreement) :
- Rakyat Sabah dan Serawak diberi kesempatan untuk menegaskan kembali keputusan yang telah mereka ambil mengenai kedudukan mereka dalam federasi Malaysia.
- Pemerintah kedua belah pihak menyetujui pemulihan hubungan diplomatik.
- Permusuhan antara kedua belah pihak akan dihentikan.
3. Berperan dalam pembentukan ASEAN
Indonesia bersama-sama dengan beberapa pemimpin negara di Asia Tenggara memprakarsai berdirinya ASEAN (Association of Southeast Asian Nations) yang dibentuk di Bangkok (Thailand) pada tanggal 9 Agustus 1967.
Tokoh yang menandatangani Deklarasi Bangkok adalah Adam Malik (Indonesia), TUn Abdul Razak (Malaysia), Narcisco Ramos (Filipina) Rajaratnam (Singapura, dan Thanat Koman (Thailand). Peristiwa ini bisa di baca selengkapnya pada artikel : Sejarah berdirinya ASEAN dan tujuannya
Trilogi Pembangunan
Pada masa Orde Baru dilaksanakan pembangunan dalam berbagai aspek kehidupan. Tujuannya adalah untuk terciptanya masyarakat adil dan makmur yang merata materiil dan spirituil berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Pelaksanaan pembangunan ini bertumpu pada trilogi pembangunan.
Berikut isi Trilogi Pembangunan
1. Pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya menuju terciptanya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
2. Pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi.
3. Stabilitas nasional yang sehat dan dinamis.
Demikian pembahasan panjang mengenai Nawaksara pidato pertanggungjawaban presiden Soekarno hingga peralihan pemerintahan kepada Jenderal Soeharto dan pelaksanaan politik luar negeri bebas aktif. Semoga menambah wawasan sejarah Indonesia.
No comments:
Post a Comment